Senin, 02 Februari 2009

TANTANGAN DAN KENIKMATAN SEORANG PENDAKI


 Buat apa capek-capek mendaki gunung, kedinginan, lapar dan tentunya maut di depan mata. Pertanyaan itu seolah menggelitik tiap pendaki. Ada yang bilang pekerjaan sia-sia, tapi ada pula yang bilang hobby. Ada yang berpendapat sekali coba pasti mau lagi, tapi yang kapok karena capek dan pegel-pegelnya tidak bisa hilang dalam dua hari. Apapun itu, geliat pendakian di tiap-tiap gunung di Indonesia dan di dunia tidak pernah sepi. Perusahaan-perusahaan yang membantu pendakian professional bermunculan, dan tidak hanya di kalangan mahasiswa-pelajar saja yang merasakan nikmatnya naik gunung. Baru-baru ini ada sepasukan pengusaha-pengusaha dari seluruh dunia, menjajal everest. Gengsi, prestise, dan entah pada deskripsi yang mana mereka menempatkan pendakian mereka hari itu. Lalu, bagaimana di negeri kita sendiri. Jawabannya, tidak jauh berbeda. Menjadi pendaki, buat kebanyakan anak muda jaman sekarang boleh jadi merupakan tantangan. Apalagi, menjamurnya klub-klub pencinta alam di Indonesia, kurun waktu belakangan ini, manambah referensi untuk para pemula, menjadi semacam magnet untuk memacu adrenalin. Belum lagi maraknya film dokumenter dan film layar lebar lainnya, serta majalah dan buletin-buletin olah raga yang kerap kali menyajikan informasi mengenai dunia pendakian. Serta maraknya kegiatan-kegiatan yang di motori oleh berbagai macam organisasi kepecintaalaman, di tanah air, menjadikan olah raga yang satu ini tidak hanya populer sebagai hoby, malah bisa dijadikan ajang penghidupan. Menyandang Carrier berbobot kisaran 8-15Kg. Bercelana model cargo yang dikenal dengan celana lapangan dengan berbagai model, sampai hanya mengenakan celana untuk model senam. Berkaos lengan pendek dan gondrong. Kumal dan layaknya seperti orang jarang mandi. Menempatkan penampilan pada urutan kesekian dari konsen hidupnya. Cuek berjalan di keramaian dan merasa senang dengan tantangan. Apalagi penggila olahraga yang boleh di bilang extrim ini, kerap kali mempertaruhkan nyawanya sendiri. Untuk sekedar menikmati sisi lain dari keindahan alam ciptaan Tuhan dengan caranya masih-masing. Bertengger di puncak-puncak tertinggi permukaan bumi, menyaksikan terbit dan terbenam matahari dari tempat yang tidak lazim, menghirup udara bersih dengan oksigen tipis dan menyaksikan sendiri keajaiban kawah gunung berapi. Atau menyaksikan sendiri awan putih pada pagi hari yang membuat anda seolah-olah berada diatas awan, untuk kemudian turun dengan manis dan mengisahkan keberanian mereka. Pada sahabat, kerabat dan anak cucunya kelak. Menjadi seorang pendaki, tentu banyak sekali yang mesti di perhatikan. Banyak pula yang mesti dipelajari. “Hari gini, masih nekat naek gunung, udah nggak jamannya,” begitu kata seorang pendaki yang sempat penulis temui. Dia juga mengisahkan bahwa mendaki, bukan semata-mata menyalurkan hoby, tapi bagaimana mendaki bisa menjadi olah raga jasmani dan ruhani. Kenapa ruhani? Yap! Pertanyaan yang cukup menggelitik. Oke kita kupas satu-satu yah.Keindahan Alam dari Sisi BerbedaApakah kamu pernah membayangkan, berdiri disatu tempat tertinggi, yang disana kamu bisa menyaksikan eloknya matahari terbit di pagi hari. Merasakan belaian lebut awan yang ada di kejauhan, dengan semilir angin berhembus lembut. Sementara sejauh mata memandang hanya ada putihnya awan dan birunya langit? Hamparan kota di kejauhan, serta hijau yang melebihi halusnya permadani terbaik sekalipun? Yap. Mirip negeri diatas awan. Pernah terpikir duduk sambil melihat sendiri mentari yang perlahan menghilang di cakrawala sore yang manis, menyisakan lembayung keemasan di ufuk barat. Kemudian mengambil foto dengan pemandangan paling spektakuler dari tempat yang tidak semua orang bisa mencapainya? Kebanggaan dan perasaan puas? Pasti! Itulah beberapa deskripsi mengenai keindahan puncak suatu gunung. Meski titp-tiap orang selalu punya pengalaman sendiri, tapi minimal seperti itulah gambaran rata-rata keindahan tiap puncak gunung. “Selalu ada sesuatu yang nggak bisa dideskripsikan. Sensasi yang nggak bisa gua lukiskan dengan kata-kata. Keindahan ciptaan Tuhan yang amat sangat menakjubkan dan masih banyak lagi, pokoknya capenya kebayar deh,” tutur seorang pendaki yang hampir telah mandaki semua gunung di Jawa, Sumatera hingga Lombok. Lain lagi penuturan seorang perempuan manis berambut panjang, mahasiswa sebuah perguruan tinggi di Jakarta, yang mengungkapkan seolah-olah kita sedang berada sangat dekat dengan Tuhan. Mungkin pengertiannya, dengan mendaki gunung, dia berasa semakin dekat dengan Penciptanya.Boleh jadi macam-macam pendapat orang tentang bagaimana mereka menikmati keindahan tersebut. Karena masing-masing pasti akan mempunyai cerita yang berbeda mengenai perjalanannya. Tapi yang jelas, kebanyakan dari mereka merasa menyaksikan dunia dari sisi yang berbeda. Menyaksikan keindahan ciptaan-Nya dari sudut pandang berbeda, sudut pandang seorang Pendaki. Standar keamanan dan keselamatan pendaki "Sebelum memulai sebuah pendakian", tentunya kita harus mengetahui hal yang satu ini. Kenapa? Yap! Karena ini menyangkut keselamatan akan diri kita. Menyangkut nyawa kita. Kita pasti tidak akan mau mati konyol di gunung, kan? Karena itu, safety prosedur boleh jadi merupakan kunci penentu dari kelancaran pendakian kita. Yang dimaksud dengan standar keamanan dan keselamatan pendaki disini adalah sejauh mana kita bisa mensiasati kemungkinan-kemungkinan yang akan dihadapi di gunung. Menyiapkan peralatan pendakian yang akan membantu mempermudah kita dalam sebuah perjalanan. Pada musim hujan dan badai, tentunya akan berbeda dengan musim kemarau. Termasuk di dalamnya adalah manajemen perjalanan yang baik. Pemilihan peralatan yang tepat, tanpa perencanaan yang baik juga kadang kala hanya sia-sia. Misalkan saja, kita telah menyiapkan semua peralatan dari mulai tenda hingga peralatan pendukung seperti gaiter, tapi kita tidak merencakan pendakian dengan baik, semisal, kita tidak menentukan dimana kita akan bermalam, kapan kita akan istirahat, dan lain sebagainya. Pendakian seperti ini, kadang akan sangat beresiko. Apalagi jika kita mendaki dalam jumlah peserta banyak atau dalam sebuah pendakian massal. Bagi pendaki pemula, kadang kala tidak memperhatikan hal ini. Padahal jika sebuah pendakian di rencanakan dengan baik, kita akan bisa menikmati tiap tarikan dan letih kita dengan nyaman. Makanan, juga jadi factor penting dalam pendakian. Pemilihan makanan yang bergizi dan berkadar karbohidarat tinggi, juga mutlak di perlukan. Siapa bilang kita cukup hanya memakai makanan instant. Seyogyanya makanan instant hanya sebagai makan pendukung, bukan makanan pokok. Kita bisa menyalurkan hoby memasak, justru pada saat hendak tidur malam. Aneka kreasi makanan bisa kita ciptakan. Jadi, pada saat melakukan perjalanan, makanan bukan seadanya, tapi perlu juga dicermati kadar gizi dan tanggal kadaluarsa, serta jumlah yang sesuai dengan lama perjalanan kita. Olah Raga Mahal Kalau ada orang yang bilang mendaki adalah olah raga mahal, jawabannya jelas seratus persen benar. Bayangkan, jika dalam melaksanakan sebuah pendakian kita harus membelanjakan kocek yang tidak bisa di bilang kecil. Kita harus merogoh kantong sedikit lebih dalam ketika menyiapkan peralatan dan perlengkapan untuk pertama kali, minimal carrier 60 liter, sepatu trekking, jaket, balaklava atau kupluk, windstoper, celana lapangan, raingear dan seperngkat peralatan memasak yang direkomendasi anti angin, tenda atau fly sheet. Yap. Jika kita jumlah dalam satu kali menyiapkan peralatan, hitungannya bisa beberapa juta rupiah. Belum lagi untuk materi-materi penunjang yang sifatnya sekunder, seperti senter, gaiter, topi lapangan, kompas dan perlengkapan survival lainnya. Jadi. Benar kan kalo seandainya banyak yang bilang mendaki adalah olahraga mahal. Itu baru dari segi peralatan. Belum lagi biaya yang di keluarkan untuk sebuah perjalanan atau ekspedisi. Bayangkan jika kamu tinggal di Jakarta, kemudian merencakan pendakian ke gunug-gunung di Jawa Tengah, Jawa Timur atau Lombok. Berapa banyak uang yang akan kita habiskan. Dari catatan penulis sendiri, untuk sekali pendakian ke Jawa Tengah, minimal kita harus merogoh seratus lima puluh ribu rupiah dari pundi-pundi uang yang kita punya. Jika itu hanya untuk transportasi, maka bagaimana dengan perbekalan makanan. Kita harus menyiapkan perbekalan makan dalam konsep yang sangat detail. Wah repot juga, yah. Tidak juga, kok. Pastinya kita tinggal siapkan segala kebutuhan sesuai dengan lamanya waktu perjalan yang akan kita tempuh. Semakin lama waktu yang di perlukan untuk sebuah perjalan makan kebutuhan konsumsi juga akan semakin besar, dan semakin banyak pula uang yang harus kita belanjakan. So, memang tidak ada salahnya kalau banyak yang bilang, mendaki adalah olah raga mahal.Tapi, buat sebagian orang, jumlah bukan lah hal yang penting. Ibaratnya, ketika kepuasan terengkuh maka berapapun harga akan di bayar. Persiapan Fisik dan Mental Sama halnya dengan olah raga outdoor lainnya, mendaki juga memerlukan kesiapan fisik dan mental yang prima. Kedua hal ini, akan sangat membantu jika kita di hadapkan kepada berbagai masalah di lapangan. Menghadapi hujan deras dengan angin kencang yang menerbangkan tenda-tenda, di bawah kilat. Berjalan di padang pasir atau sabana yang entah dimana ujungnya. Menanjak di terjalnya medan, dari yang masih bisa dilakukan sambil bendiri, hingga ada yang harus menggunakan tali, sementara beban berat masih menempel di punggung, pastinya bukan pekerjaan mudah. Ego yang sering muncul, menyeruak sendirian dalam alam bawah sadar kita ke permukaan, sehingga emosi sering kali susah di kontrol. Akhirnya, masalah timbul dan menjadi pemicu hubungan antar personal yang bukan tidak mungkin berakibat fata. Hanya orang-orang dengan kesiapan mental baja dan pisik yang prima mampu melewatinya. Berfikir jernih, adalah keharusan.Tekanan demi terkanan dari berbagai aspek, baik itu alam sendiri, maupun aspek sosial, seperti teman seperjalanan dan lainnya, menuntut kesiapan pikiran dan mental yang tangguh. Mendaki itu Berbahaya Kita sangat sering mendengar berita tidak menyenangkan tentang dunia pendakian. Beberapa mahasiswa dari Jawa Tengah tewas di gunung Slamet beberapa tahun silam, faktor cuaca penyebabnya. Kita juga masih teringat jelas, meninggalnya seorang pendaki di Gunung Gede, beberapa waktu silam, hingga tewasnya beberapa pelajar di Gunung Salak Jawa Barat. Belum lagi kasus-kasus kematian lainnya yang sangat tidak mungkin di sebutkan secara detail. Menyeramkan, bukan? Tentunya kita tidak ingin mati konyol di gunung, kan? Jika jawaban kamu, ya, maka safety prosedur diatas mutlak di terapkan. Kecelakaan di gunung, minimal bisa kita tekan seminimal mungkin. Faktor-faktor seperti cuaca, alam, dan medan itu sendiri memang tidak bisa kita elakkan. Tapi dengan pembekalan yang baik dan persiapan yang memadai, kita dapat mengurangi resikonya. Sementara tentunya factor-faktor dari kesalahan manusia nya bisa kita hindari. Menganggap enteng sebuah perjalanan, tentunya sangat tidak bijaksana. Kadang kala, kecerobohan kecil seperti ini yang membawa maut. Seringnya melakukan pendakian bukan serta merta membuat kita kebal terhadap resiko. Orang yang sangat berpengalaman pun, sangat mungkin terkena cidera, gangguan fisik dan lainnya. Nekat? Tentu saja konyol. Jadi, mendaki bukan hanya hoby, kan? Ada sangat banyak pelajaran tentang kehidupan di ajarkan dari sini. Selain berolah raga, kita tentunya akan bersingungan dengan macam-macam prilaku. Mulai dari teman seperjalanan, sampai pada prilaku alam yang sangat-sangat susah di tebak. Jika kemudian banyak yang menjadi lebih arif karena mendaki, tentunya itulah salah satu hal positif yang kita bisa petik. Tapi jika ada yang semakin brutal dengan vandalisme, minuman keras yang dianggap bisa membantu memulihkan suhu tubuh, padahal itu salah besar. Otak tidak akan berfikir jernih jika mabuk. Jadi mitos itu mesti di hilangkan dari sekarang.Sudah siap mendaki?