Minggu, 22 Februari 2009

GUNUNG LUMUT, SURGA LUMUT DUNIA



Nuansanya persis seperti hamparan karpet. Mulai dari tanah, batu, hingga pepohonan, semuanya dilapisi lumut. Bahkan dahan dan ranting pohon pun tak lepas dari balutan lumut. Saking tebalnya lumut, saat menginjak batu pun terasa empuk meski agak licin. Tidak salah jika kemudian penduduk menyebutnya Gunung Lumut, terletak di Kabupaten Pasir, Kalimantan Timur.

Sesuai namanya, Gunung Lumut (1.210 meter) di Kabupaten Pasir, Kalimantan Timur, dipenuhi berbagai jenis lumut yang beberapa di antaranya sangat langka. Lumut bukan hanya menutupi tanah dan bebatuan, tetapi juga dahan dan ranting pepohonan karena udara di sekitarnya sangat lembab dan basah.
Kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut luasnya sekitar 42.000 hektar dan puncak tertingginya sekitar 1.210 meter di atas permukaan laut (dpl). Tidak terlalu tinggi memang, jika dibandingkan dengan gunung-gunung yang ada di Pulau Jawa. Namun, uniknya gunung ini dibalut lumut. Balutan lumut sudah mulai terlihat pada ketinggian sekitar 900 meter dpl, sesuai dengan iklimnya yang basah, lembab, dan suhunya
yang rendah.

Namun, pada ketinggian 900 meter, lumut baru terlihat sporadis di sela-sela batu, sekitar akar maupun batang pohon yang sudah tumbang. Hamparan lumut yang sangat tebal, baru terlihat pada ketinggian sekitar 1.140 meter dpl.

Pada ketinggian 70 meter menjelang puncak gunung itulah terlihat hamparan lumut yang menutupi kawasan sekitarnya. Sejauh mata memandang, yang terlihat hanya lumut yang menutupi permukaan tanah, batu, dan pepohonan. Warnanya dominan hijau, tetapi ada juga yang berwarna hijau keputih-putihan.

Bentuknya sangat beragam. Ada lumut daun (Muski) yang bentuknya sporotil di atas, ada juga lumut hati (Hepaticeae) yang bentuknya seperti hati. Ada lumut yang menggantung halus dan panjang seperti meteor sehingga disebut Meteoridae, ada juga lumut Leucobryun, yakni lumut yang daunnya berwarna putih. Bahkan ada juga lumut Usnea yang menggantung seperti janggut, tetapi agak kasar seperti sabut kelapa. Saking kuat dan kenyalnya lumut ini, penduduk biasa menggunakannya sebagai isi bantal tidur pengganti kapuk.

“Pada masyarakat lain, lumut ini digunakan untuk menghambat proses pengasaman pada gula nira. Ada pula yang menggunakan lumut ini sebagai bahan pembuatan jamu,” kata Dr Harry Wiriadinata, peneliti dari Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang meneliti bersama Tropenbos International Indonesia di Gunung Lumut. Penelitiannya diikuti sedikitnya 30 peneliti senior dari Indonesia dan Belanda dari berbagai disiplin ilmu.

Hamparan pacet

Tidak gampang menaklukan Gunung Lumut. Kendala terbesar terutama tebing yang sangat curam dan jalan setapak yang sangat sempit dan terjal. Bahkan, gunung itu penuh batu-batu tajam yang sangat licin karena dibalut lumut. Begitu salah menginjak, maka bisa tergelincir masuk jurang yang sangat dalam.

Selain lembab, kawasan gunung itu penuh pacet atau lintah yang siap mengisap darah setiap saat. Bukan cuma pacet tanah yang rakus darah, pacet daun yang warnanya indah, tetapi sangat ganas.

“Pacet daun menimbulkan rasa sangat gatal jika sudah mengisap darah,” kata Jidan (35), Wakil Kepala Adat Dusun Muluy yang menjadi pemandu saat mendaki Gunung Lumut.

Beratnya medan saat mendaki Gunung Lumut akan terobati dengan beragamnya suara-suara binatang hutan. Selain beruk (Macaca nemestrina), juga terdengar lengkingan owa-owa (Hylobates muelleri) dan lutung merah (Presbytis rubicunu). Suara indah burung cucakrowo (Pycnonotus zeylanicus), murai (copsycus sp), dan burung tiung (Gracula religiosa) menjadi hiburan tersendiri saat mendaki Gunung
Muller.

Dr Chandradewana Boer, ahli burung (ornitologi) dari Universitas Mulawarman, Samarinda, mengidentifikasi sedikitnya ada 160 jenis burung di kawasan gunung itu. Jenis yang dominan ialah burung berparuh besar yang langka dan dilindungi, enggang atau rangkong (bucerotidae).

“Melihat beragamnya flora dan fauna di hutan lindung Gunung Lumut, kawasan ini harus betul-betul dijaga kelestariannya,” kata Dicky Simorangkir, Direktur Tropenbos Indonesia yang memimpin Ekspedisi Keanekaragaman Hayati Gunung Lumut.

Beragam jamur

Bukan cuma burung yang banyak terdapat di kawasan hutan lindung penuh bebatuan ini. Gunung Lumut juga kaya berbagai jenis jamur. Dr Djumali Mardji, ahli jamur (mikologi) dari Universitas Mulawarman, Samarinda, yang melakukan penelitiandi kawasan Gunung Lumut, menemukan sedikitnya 120 jenis jamur. Dari jumlah itu, 40 jenis di antaranya ditemukan pada ketinggian 600-1.210 meter di atas permukaan
laut.

“Beberapa jenis jamur bahkan tidak ditemukan di tempat lain sehingga belum diketahui namanya,” kata Djumali. Ia menunjukkan jamur berwarna hitam di bagian atas payungnya. Bagian bawahnya berwarna kuning.

Di kawasan Gunung Lumut, ditemukan pula jamur Amauroderma, jamur langka yang bagian atasnya berwarna hitam, sedangkan bagian bawahnya bisa mencetak sidik jari siapa pun yang memegangnya. Saat dipegang, sidik jari pada jamur itu berwarna merah, namun perlahan-lahan berubah menjadi hitam.

Ada pula jamur unik bernama Ramaria largentii, bentuknya persis seperti terumbu karang di laut. Adapun jamur Phallus impudicus bentuknya seperti kelambu atau jaring kecil seukuran balon. Uniknya, jamur ini berwarna merah muda atau putih.

Sementara itu, bagi penggemar anggrek, kawasan Gunung Lumut merupakan “surga anggrek” yang menawan. Selain jumlahnya cukup banyak, bentuknya unik-unik dan tempat tumbuhnya tersebar mulai dari sekitar akar hingga menjelang pucuk pohon.

Salah satu anggrek yang cukup favorit di antaranya Bulbophylum yang berwarna kuning. Anggrek ini tampak genit karena memiliki semacam lidah yang selalu bergerak-gerak meskipun tidak diterpa angin.

Ada pula anggrek Eria yang unik karena bagian bunganya selalu berbulu (erion), dan ditemukan pada ketinggian di atas 600 meter dpl.

Di Gunung Lumut ditemukan anggrek merpati (Dendrobium rumenatum). Dinamakan demikian karena ketika berbunga, bentuknya persis seperti kepaksayap merpati. Putih bersih, sayang bunganya yang sangat indah hanya mekar sehari.

“Hari ini mekar, keesokan harinya sudah layu,” kata Harry Wiriadinata, peneliti dari LIPI yang tekun mencatat semua jenis anggrek di Gunung Lumut.

Di gunung penuh bebatuan ini juga ditemukan anggrek tebu (Gramatoplilum speciosium). Dinamakan demikian karena tangkai bunga anggrek ini sangat panjang, bisa mencapai dua meter sehingga mirip tebu. Bunganya seperti belimbing kecil, sedangkan warnanya menyerupai macan, yakni bintik-bintik perpaduan coklat, kuning, dan hitam.

Anggrek jenis ini berbunga setahun sekali setiap Desember, tetapi bunganya bisa bertahan selama tiga bulan sejak Desember, Januari, hingga Februari. “Karena itu jika ingin melihat anggrek ini, sebaiknya datang ke sini saat Desember,” kata Jidan (35), Wakil Kepala Adat Dusun Muluy, Kabupaten Pasir, pemandu saat mendaki Gunung Lumut.

Melihat beragamnya flora dan fauna di kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut, maka sudah semestinya kawasan hutan lindung ini diselamatkan. Sampai saat ini, kawasan hutan lindung seluas 42.000 hektar ini, masih lestari dan terpelihara baik, terutama di atas ketinggian 600 dpl.

Boleh jadi, berat dan curamnya medan menjadi salah satu faktor positif masih terpeliharanya Gunung Lumut. Namun, pada ketinggian di bawah 300 meter dpl yang medannya tidak terlampau curam, kerap dijumpai penebangan liar.

Semoga saja, kelestarian Gunung Lumut bisa terpelihara dengan baik selamanya. Jika Gunung Lumut sampai rusak, maka hilanglah kebanggaan terhadap Gunung Lumut yang selama ini dikenal sebagai surganya lumut dunia.